Langsung ke konten utama

Anak Hanyalah Beban

Tulisan ini sebagian saya sarikan dari pengantar majalah Basis edisi Juli-Agustus 2006 yang ditulis Budayawan Sindhunata, yang merupakan kupasan terhadap buku dengan judul Keine Zeit (Tidak Ada Waktu) karangan Sosiolog perempuan Amerika Arlie Hochschild (2002).
Arlie Hochschild membuat penelitian tentang bagaimana orang-orang bertukar peran secara permanen, dari karyawan atau pekerja menjadi ibu atau bapak dalam keluarga. Penelitiannya dilakukan dari tahun 1990 sampai 1993. Hochschild memeriksa pula apakah orang-orang itu sungguh-sungguh berhasil membuat harmoni antara mencari uang dan hidup dengan anak-anaknya.
Menurut penelitian Hochschild, apa yang terjadi di rumah adalah hidup harian yang seperti suatu “mimpi buruk”. Semuanya menjadi serba tergesa-gesa. Pagi-pagi bangun, para ibu menyiapkan sarapan. Mereka demikian terburu-buru, dan memberi kesan, ingin secepat mungkin pergi meninggalkan keluarganya. Makan pagi yang seharusnya menyenangkan menjadi hal yang kalau bisa secepatnya dihindari. Malam mereka pulang. Di sini hidup keluarga di rumah bukan lagi menjadi oase kedamaian yang membahagiakan, tapi tugas yang mau tak mau wajib dijalankan. Di rumah ini anak dan suami atau istri menjadi ”menjengkelkan”. Tak ada keintiman yang dapat dirasakan. Justru di rumah mereka merasakan rekan kerja di kantor atau tempat kerja adalah sahabat-sahabat yang bisa memberi keintiman dan kehangatan.
Ibu-ibu itu dan tentu saja juga bapak-bapak, tetap berilusi, bahwa akan datang saatnya, mereka mempunyai banyak waktu, dimana mereka dapat memberikan diri sepenuhnya pada keluarga. Tapi ternyata, waktu itu juga tak pernah tiba. Dari hari ke hari mereka hidup dan berharap demikian. Tapi harapan mereka tak pernah kesampaian. Keluarga ideal hanyalah impian, dan mereka menghidupi impian itu seakan-akan itu adalah suatu kenyataan. Impian mereka adalah hidup harmoni keluarga. Sedangkan kenyataan sesungguhnya adalah rumah hanyalah menjadi firma, dan keluarga adalah beban yang tak disukai, atau kewajiban yang memberatkan, sedangkan pekerjaan adalah segala-galanya.
Inti dari penelitian Hochschild adalah tuntutan mekanisme hidup modern ini sesungguhnya mengandung ”ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap anak-anak”. Mekanisme hidup modern diam-diam menyimpan pendirian, bahwa ”anak-anak itu hanya merepotkan”. Walaupun terus digembar-gemborkan mengenai ”sayang anak”, hidup modern ini sebenarnya ”menelantarkan anak”.
Penelitian Hochschild memang dilakukan di negara maju, namun di negara berkembang kesimpulan penelitian tersebut juga relevan, bahkan keadaannya lebih parah lagi. Kemiskinan dan kekurangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menuntut ayah-ibu harus lebih memacu diri untuk kerja. Transfortasi di negara-negara berkembang jauh dari ideal, akibatnya membutuhkan waktu lebih lama untuk pulang balik dari rumah ke tempat kerja. Semua itu mengakibatkan lebih terlantarnya anak-anak di rumah.
Fenomena di atas mempertegas kekhawatiran banyak kalangan tentang menipisnya tanggungjawab orangtua dalam pendidikan anak-anaknya. Fakta di Indonesia beban pendidikan begitu saja dialihkan kepada sekolah. Sekolah bertanggungjawab pendidikan anak-anak dan orangtua tinggal berleha-leha. Banyak orangtua tidak perduli dengan anaknya di sekolah, terserah anaknya mau dijadikan apa. Orangtua tidak mau repot-repot dengan pembinaan dan pendidikan anaknya tinggal serahkan saja pada sekolah. Lelucon di kalanagn pendidik bahwa: sekolah itu hanyalah tukang jahit, tempat orangtua menjahitkan anaknya. Ada yang menyerahkan model atau potongan sepenuhnya pada sekolah, ada pula yang memesan model atau potongan yang disukai dan sekolah terpaksa menurutinya. Kalau kemudian model tidak sesuai dengan yang diinginkannya, tinggal marah-marah.
Fakta ini merupakan suatu mentalitas yang mengkhawatirkan. Orangtua tidak mau repot-repot dengan pembinaan dan pendidikan anaknya, padahal para ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan harus dimulai di rumah. Sekolah bukan pengganti pendidikan di rumah, tapi pelengkap akan apa yang tidak bisa diberikan di rumah. Pakar psikologi pendidikan Katharian Salfrank menyebutkan, tiga pilar pendidikan adalah cinta, pelaksanaan hidup harian dan aturan-aturan. Cinta adalah dasar pendidikan, tapi cinta baru terwujud dalam hidup harian. Untuk itu membutuhkan aturan-aturan. Denga ketiga hal itu, anak dilatih untuk bebas disatu pihak dan bertanggungjawab dilain pihak.Tempat yang tepat untuk melaksanakan ketiga pilar itu adalah rumah bukan sekolah. Oleh karena itu tanggungjawab orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya adalah mutlak.

Komentar

Febri R Nugraha mengatakan…
Saya pikir pendidikan di rumah dan di sekolah bisa dilakukan bersamaan. Saat ini dengan adanya teknologi pengajaran yang berbasis web, memungkinkan siswa dapat belajar dari rumah.
redy mengatakan…
nice blog ,,..hope i'll get a lot of information on your site..

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan AI dalam Perencanaan Pembelajaran.

  Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh guru adalah beban tugas administratif yang dapat menyita waktu dan energi, termasuk administrasi pembelajaran seperti modul ajar atau RPP. Mempersiapkan administrasi guru merupakan kegiatan perencanaan pembelajaran. Dengan bantuan AI, tugas-tugas seperti administrasi pembelajaran (TP, ATP, Modul Ajar/RPP), manajemen kelas, penilaian siswa, dan pengelolaan data dapat dilakukan secara otomatis dan efisien. Hal ini memungkinkan pendidik untuk lebih fokus pada pengajaran dan interaksi dengan siswa.   Selain itu, pada paradigma baru pembelajaran, pembelajaran berpusat pada peserta didik sehingga guru harus memperhatikan kebutuhan peserta didik seperti kesiapan belajar, profil belajar dan minat belajar. Dalam membuat perencanaan pembelajaran, guru membutuhkan data-data tentang kebutuhan peserta didik seperti tingkat penguasaan peserta didik terhadap pengetahuan awal materi yang akan dipelajari, preferensi belajar peserta didik dan ...

Pemanfaatan AI dalam Pembelajaran Kurikulum Merdeka

    A.       Pendahuluan Perkembangan pesat teknologi AI telah mengubah cara kita hidup dan bekerja. Dari sektor kesehatan hingga industri, AI telah menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Dunia pendidikan pun tak ketinggalan. Dengan kemampuannya dalam memproses data dan belajar dari pengalaman, AI menawarkan peluang untuk merevolusi cara kita belajar dan mengajar. Pembelajaran yang dipersonalisasi, penilaian yang lebih efektif, dan pengalaman belajar yang lebih interaktif adalah beberapa contoh manfaat yang dapat kita peroleh dari penerapan AI dalam pendidikan. Pemanfaatan AI dalam pendidikan diantaranya   membantu guru dalam menyelesaikan masalah kewajiban administratif, mempersiapkan bahan ajar dan media pembelajaran, merancang pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, pembelajaran dan penilaian adaptif. Sudah menjadi masalah umum di kalangan guru bahwa   salah satu kendala atau k...

Wahai orangtua, guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan berhati-hatilah!

  Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan bersekolah di sekolah yang bagus. Mereka berusaha dengan berbagai cara, seperti mengikuti bimbingan belajar pada lembaga bimbingan belajar, memanggil guru privat, melengkapi sarana belajar dan meminta jam belajar tambahan di sekolah. Namun tidak sedikit orangtua mengambil jalan pintas, diterima di sekolah yang diinginkan melalui jalur illegal, masuk melalui jalur yang tidak ada dalam ketentuan yang sudah ditetapkan. Jalur yang dikenal sebagai bina lingkungan illegal. Disadari atau tidak oleh orangtua, oknum pejabat, guru dan kepala sekolah yang terlibat memasukkan calon siswa melalui jalur bina lingkungan ilegal pada hakikatnya mereka sedang melakukan investasi yang buruk pada masa depan anak, yang tidak mustahil malah menghancurkan anak itu sendiri kelak. Praktik bina lingkungan ilegal bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh sekolah, yang menjadi tujuan pendidikan. Pada saat...