Rendahnya
mutu pendidikan tidak hanya tampak dari capaian akademik. Dimensi non-akademik
pun menunjukkan potret yang sama kelamnya. Sepanjang tahun 2024, Jaringan
Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan
pendidikan—melonjak lebih dari 100 persen dibandingkan tahun 2023 yang mencatat
285 kasus. Dari jumlah tersebut, 31 persen berkaitan dengan perundungan
(bullying), dengan bentuk kekerasan seksual mendominasi 42 persen kasus.
Berbagai peristiwa tragis—mulai dari kasus "Geng Tai" di SMA Binus
School Serpong hingga kematian siswa SD di Subang akibat perundungan—menjadi
cermin betapa pendidikan karakter yang digaungkan selama ini hanya menjadi
slogan kosong.
Menghadapi
berbagai indikator kegagalan ini, respons pemerintah selama puluhan tahun
nyaris seragam: mengganti kurikulum dan mengadakan pelatihan guru. Sejak
kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah berganti kurikulum setidaknya 12
kali—dari Kurikulum 1947 hingga Kurikulum Merdeka. Setiap pergantian menteri
pendidikan seolah menjadi momentum untuk melahirkan kurikulum baru, hingga
muncul sindiran populer "ganti menteri, ganti kurikulum." Sementara
itu, berbagai program pelatihan guru terus digulirkan dengan anggaran besar,
namun hasilnya tetap mengecewakan.
Pertanyaan
mendasar yang perlu dijawab adalah: mengapa berbagai intervensi tersebut tak
kunjung membuahkan hasil? Tesis yang hendak diajukan dalam tulisan ini adalah
bahwa respons pemerintah selama ini tidak pernah menyentuh akar permasalahan
mengapa mutu pendidikan rendah. Ada tiga faktor fundamental yang menjadi
penyebab kronis rendahnya mutu pendidikan di Indonesia: masalah sistemik
(regulasi yang menghambat), masalah struktural (kepemimpinan sekolah yang tidak
berfungsi), dan masalah kultural (mentalitas guru yang terdegradasi). Ketiganya
membentuk lingkaran setan yang tidak akan pernah terputus hanya dengan
mengganti kurikulum atau mengadakan pelatihan semata.
Masalah Pertama: Regulasi yang Membelenggu
Ironi
terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia adalah bahwa regulasi yang seharusnya
menjadi payung pelindung dan pendorong kemajuan justru berubah menjadi belenggu
yang mematikan inisiatif dan inovasi sekolah. Sistem yang diciptakan dengan
niat baik pada akhirnya menghasilkan efek yang bertolak belakang dengan
tujuannya.
Kebijakan
Sekolah Gratis yang Membunuh Manajemen Berbasis Sekolah
Perubahan
paradigma pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah
melahirkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Undang-undang mengamanatkan
bahwa sekolah memiliki otonomi untuk mengelola sumber daya secara mandiri,
mengembangkan program sesuai kebutuhan lokal, dan membangun partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. MBS menuntut sekolah menjadi
organisasi pembelajar yang dinamis, kreatif, dan responsif terhadap kebutuhan
peserta didik dan masyarakat.
Namun
ironi yang menyakitkan terjadi: kebijakan pendidikan gratis yang diamanatkan
konstitusi justru diimplementasikan dengan cara yang membunuh semangat MBS.
"Gratis" diartikan secara absolut dan kaku sehingga sekolah
kehilangan ruang gerak untuk mengelola sumber daya secara otonom. Setiap upaya
sekolah untuk mengembangkan program inovatif yang membutuhkan dukungan tambahan
dari masyarakat langsung dicap sebagai "pungutan liar" dan dianggap
melanggar prinsip pendidikan gratis.
Akibatnya,
amanat MBS menjadi tidak bisa dilaksanakan. Sekolah yang seharusnya diberi
otonomi untuk berkembang sesuai potensi dan kebutuhannya justru terbelenggu
oleh ketakutan akan sanksi. Partisipasi masyarakat yang menjadi pilar utama
MBS—termasuk dalam bentuk dukungan sumber daya—menjadi tabu untuk dibicarakan.
Sekolah terjebak dalam paradigma "yang penting jalan"—memenuhi
standar minimal administratif tanpa ambisi untuk melampaui batas-batas mediokritas.
Sekolah negeri yang seharusnya menjadi ujung tombak pendidikan berkualitas
kehilangan daya untuk berinovasi, sementara sekolah swasta berkualitas hanya
bisa diakses oleh kalangan mampu. Kesenjangan kualitas pendidikan antarkelompok
sosial ekonomi pun semakin menganga.
Beban
Administrasi yang Mencekik
Masalah
sistemik kedua yang tidak kalah destruktif adalah beban administrasi guru yang
sudah melampaui batas kewajaran. Guru-guru Indonesia hari ini lebih banyak
menghabiskan waktu di depan komputer mengisi berbagai platform digital, membuat
dokumen perencanaan pembelajaran yang bertumpuk-tumpuk, dan memenuhi berbagai
laporan yang dituntut birokrasi, daripada waktu yang mereka habiskan untuk
benar-benar mengajar dan berinteraksi dengan siswa.
Survei
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pada penghujung 2023 hingga awal 2024
mengungkap fakta yang mencengangkan: 83,4 persen guru mengakui bahwa Platform
Merdeka Mengajar (PMM)—yang ironisnya dibuat dengan semangat
"memerdekakan"—justru menambah beban administrasi mereka. Berbagai
platform digital yang seharusnya mempermudah justru menjadi tambahan pekerjaan
karena tidak terintegrasi satu sama lain. Guru harus mengisi PMM, e-Kinerja,
Dapodik, dan berbagai aplikasi lainnya dengan data yang sering kali tumpang tindih.
Seorang
guru yang mengajar 24 jam pelajaran per minggu—standar minimal untuk
sertifikasi—harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk setiap
pertemuan, melakukan penilaian dengan berbagai instrumen yang rumit, mengisi
jurnal mengajar, dan menyiapkan portofolio untuk supervisi. Banyak guru yang
terpaksa lembur hingga larut malam di rumah untuk mengejar tenggat waktu
administrasi. Akibatnya, energi dan waktu yang seharusnya dicurahkan untuk
menyiapkan pembelajaran yang bermakna dan inovatif justru tersedot habis oleh
ritual administratif yang seringkali tidak memiliki korelasi langsung dengan
peningkatan kualitas pembelajaran.
Peraturan
Beban Kerja yang Tidak Realistis
Kewajiban
mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu sebagai syarat pencairan
tunjangan sertifikasi menciptakan dilema tersendiri. Guru-guru di sekolah
dengan jumlah siswa atau rombongan belajar terbatas terpaksa "berburu
jam" di sekolah lain, bahkan ada yang mengajar di tiga hingga empat
sekolah berbeda hanya untuk memenuhi kuota administratif. Kondisi ini
menghasilkan guru-guru yang kelelahan, tercerai-berai fokusnya, dan tidak
memiliki ikatan emosional yang kuat dengan satu komunitas sekolah.
Sistem
berbasis jam tatap muka ini juga mengabaikan realitas bahwa pekerjaan guru jauh
melampaui aktivitas di dalam kelas. Waktu untuk membimbing siswa bermasalah,
mengembangkan diri, berkolaborasi dengan rekan sejawat, atau menjalin
komunikasi dengan orang tua—semua aktivitas penting ini tidak
"dihitung" dalam sistem yang reduktif dan berorientasi kuantitas
semata.
Masalah Kedua: Patologi Struktural Kepemimpinan
Sekolah
Jika
regulasi adalah kerangka yang menentukan batas-batas gerak institusi
pendidikan, maka kepemimpinan sekolah adalah motor penggerak yang menentukan ke
arah mana energi institusi akan dialirkan. Tragisnya, Indonesia mengalami
krisis kepemimpinan sekolah yang akut—sebuah patologi struktural yang berakar
pada political will yang lemah dari para pemangku kepentingan, khususnya
pemerintah daerah.
Prof. DR.
Ibrahim Bafadal, guru besar Universitas Negeri Malang yang juga ketua tim
perumus Peraturan Menteri tentang Pengadaan Kepala Sekolah, pernah
menggambarkan posisi strategis kepala sekolah dengan ungkapan yang tajam: "Tidak
ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang tidak bisa mendidik. Tidak
ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala sekolah yang tidak bisa
membuat guru bisa mendidik." Ungkapan ini menegaskan bahwa kepala
sekolah adalah kunci dari seluruh mata rantai peningkatan mutu pendidikan.
Posisi
Strategis Kepala Sekolah yang Terabaikan
Memang
benar bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak terjadi di kantor Dinas
Pendidikan atau ruang kepala sekolah, melainkan di dalam kelas dengan guru
sebagai ujung tombaknya. Namun untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan iklim
sekolah yang kondusif, motivasi kerja dan komitmen guru yang tinggi—semua ini
harus diciptakan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer. Sebagaimana
ditegaskan oleh Lipham James, posisi kepala sekolah adalah yang menentukan
titik pusat dan irama sekolah; bahkan keberhasilan sekolah adalah keberhasilan
kepala sekolah. Kepala sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi
penggerak kehidupan sekolah.
Penelitian
tentang efektivitas sekolah yang dikutip dalam Coleman Report menyebutkan
bahwa 32 persen prestasi siswa dipengaruhi oleh kualitas manajemen sekolah. Ini
berarti kinerja kepala sekolah dalam manajemen pendidikan berdampak langsung
pada prestasi siswa. Di negara-negara maju, masalah kepemimpinan sekolah
ditangani dengan sangat serius. Singapura memiliki Leadership School
khusus untuk melatih dan mempersiapkan calon kepala sekolah—lembaga ini bahkan
sudah go internasional. Malaysia, Korea Selatan, Australia, dan negara-negara
Eropa juga memiliki lembaga sejenis. Indonesia? Kita masih berkutat dengan
persoalan paling mendasar: bagaimana mendapatkan kepala sekolah yang kompeten.
Rekrutmen
Kepala Sekolah yang Sarat KKN
Kepala
sekolah merupakan titik terpenting dalam ekosistem pendidikan di level satuan
pendidikan. Dialah kompas yang mengarahkan sekolah, lokomotif yang menarik
gerbong guru dan siswa menuju tujuan mulia pendidikan. Untuk melahirkan kepala
sekolah yang profesional dibutuhkan sistem yang kondusif, baik rekrutmen maupun
pembinaan. Namun dari proses rekrutmen yang sarat KKN, mustahil dilahirkan
seorang kepala sekolah yang profesional.
Ironi
yang menyakitkan adalah bahwa rekrutmen kepala sekolah di Indonesia masih
sangat sarat dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di kalangan
guru, beredar seloroh yang menyakitkan namun merepresentasikan realitas: untuk
menjadi kepala sekolah, "sajene kudu akeh" (harus banyak
sesajen/upeti). Kedekatan dengan penguasa daerah—bupati, walikota, atau kepala
dinas—seringkali menjadi faktor yang lebih menentukan dibanding kapasitas dan
rekam jejak profesional seorang calon. Tidak sedikit sekolah yang sebenarnya
memiliki potensi besar—karena siswa yang masuk merupakan siswa
berprestasi—tetapi tidak berkembang, stagnan, bahkan mengalami kemunduran
akibat dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak kompeten.
Praktik
transaksional dalam pengangkatan kepala sekolah ini menghasilkan dua
konsekuensi destruktif. Pertama, ia menyingkirkan calon-calon terbaik yang
tidak memiliki akses politik atau tidak bersedia bermain dalam logika
transaksional. Kedua, kepala sekolah yang diangkat melalui jalur KKN sejak awal
sudah terbebani "utang budi" politik yang harus dibayar selama masa
jabatannya, sehingga orientasinya lebih kepada "menyenangkan patron"
daripada memajukan sekolah.
Kepala
Sekolah sebagai Pejabat Formal Belaka
Kepala
sekolah hasil rekrutmen bermasalah ini pada umumnya hanya memainkan peran
formal: memastikan sekolah berjalan, tidak ada masalah yang mencuat ke publik,
laporan-laporan administratif terpenuhi, dan rutinitas birokrasi terlaksana.
Mereka tidak memiliki visi nyata tentang ke mana sekolah hendak dibawa, tidak
memiliki program konkret untuk peningkatan mutu pembelajaran, dan tidak
memiliki keberanian untuk melakukan terobosan.
Prinsip
yang dianut adalah "yang penting aman"—sebuah orientasi survival yang
bertolak belakang dengan semangat transformasi pendidikan. Kepala sekolah
seperti ini lebih sibuk memastikan dokumen akreditasi lengkap daripada
memastikan guru-gurunya benar-benar mengajar dengan efektif. Lebih khawatir
dengan teguran dari dinas pendidikan daripada dengan kenyataan bahwa siswanya tidak
memahami materi pembelajaran.
Masa
Jabatan dan Regulasi Terbaru: Harapan atau Sekadar Perubahan di Atas Kertas?
Proses
rekrutmen kepala sekolah yang baik pun belum cukup untuk menghasilkan kepala
sekolah yang tangguh dan profesional jika tidak disertai pembinaan yang
baik—yaitu pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan reward
and punishment yang tegas dan konsekuen.
Sesungguhnya
regulasi tentang periodisasi masa jabatan kepala sekolah sudah ada sejak lama.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996 dan Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 162/U/2003 telah mengatur bahwa masa jabatan
kepala sekolah adalah 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang. Namun pada
tataran praktis, implementasi regulasi tersebut tidak pernah berjalan mulus.
Banyak daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmendikbud 0296/U/1996 disiasati
dengan memutihkan masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi—kepala
sekolah yang hampir habis masa jabatannya dirotasi ke sekolah lain dan masa
jabatannya kembali ke nol tahun. Akibatnya, seorang kepala sekolah bisa
menjabat puluhan tahun dengan berpindah-pindah sekolah tanpa pernah dievaluasi
kinerjanya secara serius.
Pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah menerbitkan regulasi
terbaru, yaitu Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah yang mulai berlaku sejak 14 Mei 2025, mencabut aturan
lama Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021. Regulasi ini memperketat mekanisme
penugasan kepala sekolah dengan beberapa ketentuan penting: masa satu periode
kepala sekolah adalah 4 tahun dengan perpanjangan maksimal 2 periode (total maksimal
8 tahun); kepala sekolah tidak bisa langsung dirotasi ke satuan pendidikan lain
sebelum masa penugasan minimum 2 tahun terlampaui; serta persyaratan yang lebih
ketat mencakup kualifikasi akademik minimal S1/D4, sertifikat pendidik, pangkat
minimal Penata golongan III/c untuk ASN, pengalaman mengajar minimal 8 tahun,
dan usia maksimal 56 tahun saat mulai menjabat.
Yang
lebih menarik, regulasi baru ini menetapkan tahapan yang lebih sistematis:
pemetaan kebutuhan kepala sekolah, seleksi calon yang transparan dan berbasis
merit, serta pelatihan calon kepala sekolah sebelum penugasan. Surat Edaran
Bersama Mendikdasmen dan Kepala BKN Nomor 9 Tahun 2025 dan Nomor 5 Tahun 2025
juga memperkuat kerangka kepegawaian untuk pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian kepala sekolah secara resmi dan legal.
Di atas
kertas, regulasi ini menjanjikan perbaikan signifikan. Pembatasan masa
penugasan membuka potensi regenerasi kepemimpinan sekolah yang membawa
pembaruan manajerial. Penghapusan kewajiban sertifikat Guru Penggerak juga
membuat kesempatan menjadi kepala sekolah lebih terbuka. Namun pertanyaan
besarnya tetap sama: apakah regulasi ini akan diimplementasikan secara
konsisten, atau akan bernasib sama dengan regulasi-regulasi sebelumnya yang
disiasati dan diabaikan?
Tanpa political
will yang kuat dari pemerintah daerah untuk menegakkan aturan ini secara
konsisten, tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, dan tanpa sanksi yang tegas
bagi pelanggaran, Permendikdasmen 7/2025 berisiko menjadi sekadar macan kertas.
Pembinaan kepala sekolah seperti yang berlaku selama ini—"kepala sekolah
berprestasi maupun tidak berprestasi tetap aman menjadi kepala
sekolah"—bahkan kepala sekolah yang sarat dengan masalah pun tetap aman
pada posisinya sampai pensiun, akan terus menjadikan mustahil lahirnya kepala
sekolah yang tangguh dan profesional.
Tidak
Berfungsinya Pengawasan dan Penilaian Kinerja Guru
Salah
satu dampak paling nyata dari tidak berfungsinya kepemimpinan kepala sekolah
adalah lumpuhnya sistem pengawasan dan penilaian kinerja guru. Kepala sekolah
yang tidak memiliki visi mutu tidak akan memiliki standar untuk menilai kinerja
guru. Akibatnya, supervisi pembelajaran—yang seharusnya menjadi instrumen
pembinaan dan peningkatan kualitas mengajar—berubah menjadi ritual administratif
yang tidak bermakna.
Menurut
Paula F. Silver, iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal balik antara
perilaku kepala sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok. Perilaku
kepala sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan
demikian, dinamika kepemimpinan kepala sekolah dengan kelompok guru dan staf
dipandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah. Interaksi antara
perilaku guru dan perilaku kepala sekolah akan menentukan iklim sekolah yang
terwujud—iklim yang baik dan kondusif akan menghasilkan interaksi edukatif yang
efektif, meningkatkan motivasi kerja guru, dan pada akhirnya meningkatkan
kinerja. Sebaliknya, iklim sekolah yang tidak kondusif akan menghancurkan semua
potensi yang ada.
Kepala
sekolah yang tidak berfungsi mengunjungi kelas bukan untuk mengobservasi dan
memberikan umpan balik substantif tentang praktik mengajar guru, melainkan
sekadar untuk mengisi checklist bahwa supervisi telah dilaksanakan. Guru yang
disupervisi pun memahami bahwa ini hanyalah seremonial, sehingga tidak ada
motivasi untuk menunjukkan performa terbaiknya apalagi untuk memperbaiki
kelemahannya. Pengawasan yang seharusnya menjadi mekanisme quality control
berubah menjadi prosedur kosong yang tidak menghasilkan perubahan apapun.
Untuk
membangun sekolah efektif, menurut N. Hatton dan D. Smith, dibutuhkan
kepemimpinan instruksional yang kuat, perhatian yang jelas pada hasil belajar,
penghargaan murid yang tinggi, lingkungan yang baik, serta pengawasan tingkat
prestasi. Semua ini hanya akan terwujud apabila seluruh unsur yang terlibat
dalam proses pendidikan di sekolah berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan
tugasnya. Namun ketika kepala sekolah hanya menjalankan peran formal, seluruh
prasyarat sekolah efektif ini menjadi mustahil terpenuhi.
Masalah Ketiga: Degradasi Kultural Mentalitas Guru
Masalah
sistemik dan struktural yang telah diuraikan di atas tidak berdiri sendiri.
Keduanya berinteraksi dan berakumulasi melahirkan masalah ketiga yang bersifat
kultural: degradasi mentalitas guru. Ketika sistem tidak memberikan ruang untuk
berkembang dan kepemimpinan tidak memberikan inspirasi untuk berubah, maka yang
tersisa adalah kultur pragmatis yang berorientasi pada pemenuhan standar
minimal.
Tidak Ada
Diferensiasi antara Guru Baik dan Guru Buruk
Konsekuensi
paling merusak dari tidak berfungsinya kepemimpinan kepala sekolah adalah
hilangnya diferensiasi perlakuan antara guru yang berkinerja baik dan buruk.
Guru rajin diperlakukan sama dengan guru malas. Guru kreatif yang mengembangkan
berbagai metode pembelajaran inovatif mendapat apresiasi yang sama dengan guru
yang sekadar masuk kelas. Guru berprestasi yang membawa siswanya meraih
kejuaraan tidak mendapat pengakuan lebih dibanding guru bermasalah yang sering
absen.
Ketika
tidak ada konsekuensi atas pilihan perilaku, maka rasionalitas akan mengarahkan
individu pada pilihan yang paling hemat energi. Mengapa harus bersusah payah
menyiapkan pembelajaran yang menarik jika hasilnya sama saja dengan yang
mengajar seadanya? Mengapa harus meluangkan waktu ekstra untuk membimbing siswa
bermasalah jika tidak ada penghargaan untuk itu? Logika ini, meskipun
menyedihkan, sangat manusiawi dan dapat diprediksi.
"Yang
Penting Mengajar"—Degradasi Makna Profesi
Kultur
yang berkembang kemudian adalah apa yang bisa disebut sebagai mentalitas
"yang penting mengajar." Esensi mengajar direduksi menjadi kehadiran
fisik di kelas dan penyampaian materi, terlepas dari apakah siswa benar-benar
belajar atau tidak. Pertanyaan "bagaimana mengajar" menjadi tidak
relevan; yang penting adalah "sudah mengajar."
Muncullah
berbagai jargon yang merepresentasikan sikap sinis terhadap perubahan:
"Apapun kurikulumnya, mengajarnya tetap ceramah." "Ganti
kurikulum setiap lima tahun, cara mengajar tetap sama sejak 30 tahun
lalu." Kurikulum boleh berganti dari KBK ke KTSP, dari Kurikulum 2013 ke
Kurikulum Merdeka, namun praktik di kelas tidak berubah signifikan. Guru tetap
mendominasi dengan ceramah, siswa tetap pasif sebagai penerima informasi,
penilaian tetap mengandalkan ujian pilihan ganda yang mengukur hafalan, bukan
pemahaman atau kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berbagai
pelatihan yang diikuti guru—seringkali dengan biaya besar dari anggaran
negara—tidak menghasilkan perubahan praktik di kelas. Setelah pelatihan
berakhir, guru kembali ke sekolah dan mengajar dengan cara yang sama seperti
sebelumnya. Fenomena ini begitu umum hingga memunculkan sindiran "Aku
Masih Seperti yang Dulu"—guru yang sudah mengikuti puluhan pelatihan namun
tidak menunjukkan perubahan apapun dalam cara mengajarnya.
Disconnect
antara Pembelajaran Berbasis Materi dan Tuntutan Asesmen Berbasis Kompetensi
Ironi
terbesar dari degradasi kultural ini tampak dalam ketidakselarasan antara apa
yang diajarkan di sekolah dengan apa yang diujikan dalam berbagai asesmen.
Hasil PISA yang konsisten rendah mencerminkan bahwa pembelajaran di sekolah
tidak membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan
literasi yang menjadi fokus asesmen internasional tersebut.
Bukti
paling mutakhir dari kegagalan ini terungkap dari hasil Tes Kemampuan Akademik
(TKA) 2025 yang baru saja diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah pada 1-9 November 2025. TKA, yang ditetapkan melalui Permendikdasmen
Nomor 9 Tahun 2025 dan diikuti oleh lebih dari 3,3 juta siswa SMA/SMK,
dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, pemahaman konsep, dan
penerapan pengetahuan—bukan sekadar hafalan seperti pada Ujian Nasional
sebelumnya. Soal-soal TKA menekankan Higher Order Thinking Skills (HOTS)
yang membutuhkan analisis, sintesis, dan evaluasi.
Hasilnya?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti dalam pembukaan Musyawarah
Nasional ke-20 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 19 November 2025
mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan: nilai matematika TKA 2025
"jeblok." Yang menarik dari pernyataan Mu'ti adalah analisisnya
tentang penyebab: buruknya nilai matematika siswa bukan karena siswa bodoh,
melainkan karena buku yang digunakan untuk belajar dan cara guru mengajarkan
tidak membuat siswa ingin terus belajar matematika.
Pernyataan
Menteri ini sesungguhnya mengkonfirmasi akar permasalahan yang lebih dalam:
kesenjangan antara tuntutan kurikulum dan praktik pembelajaran di kelas.
Indonesia telah menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi sejak 2004,
dilanjutkan dengan KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Semua
kurikulum ini pada prinsipnya menuntut pembelajaran yang mengembangkan
kompetensi, bukan sekadar transfer materi. Dalam kurikulum berbasis kompetensi,
setiap pembelajaran harus memenuhi dua tagihan sekaligus: kompetensi atau kemampuan
berpikir apa yang harus dicapai siswa, dan materi pelajaran apa yang harus
dikuasai. Tujuan pembelajaran harus mencakup keduanya secara terintegrasi.
Namun
kenyataannya, pembelajaran di sebagian besar sekolah masih berbasis materi.
Guru mengajar dengan orientasi menyelesaikan materi sesuai buku paket,
mengabaikan pengembangan kompetensi berpikir yang seharusnya menjadi tujuan
utama. Ketika guru hanya fokus pada pertanyaan "materi apa yang harus
disampaikan hari ini?" tanpa mempertimbangkan "kemampuan berpikir apa
yang harus dikembangkan melalui materi ini?", maka yang terjadi adalah
pembelajaran yang dangkal—siswa menghafal fakta dan rumus tanpa memahami
konsep, menyelesaikan soal rutin tanpa mampu menerapkan pengetahuan dalam
konteks baru.
Akibatnya,
ketika siswa dihadapkan pada soal TKA yang menuntut penalaran—misalnya
menganalisis hubungan antara luas lingkaran dan kecepatan putaran roda dalam
konteks nyata, bukan sekadar menghitung luas lingkaran dengan rumus—mereka
gagap. Selama 12 tahun bersekolah, mereka hanya dilatih menghafal rumus dan
mengerjakan soal-soal rutin yang jawabannya bisa ditemukan langsung di buku
paket. Pembelajaran yang mereka alami tidak relevan dengan tuntutan asesmen
yang mengukur kemampuan berpikir sesungguhnya.
Ini
adalah bukti nyata bahwa perubahan kurikulum tidak serta-merta menghasilkan
perubahan pembelajaran. Dokumen kurikulum bisa berganti setiap beberapa tahun
dengan semangat berbasis kompetensi yang sama, namun jika mentalitas dan
praktik guru di kelas tidak berubah—tetap ceramah, tetap berbasis materi, tetap
mengandalkan buku paket sebagai satu-satunya acuan—maka kurikulum seindah
apapun hanya akan menjadi dokumen mati. Jargon "apapun kurikulumnya,
mengajarnya tetap sama" bukan sekadar sindiran, melainkan potret akurat
dari kegagalan transformasi pendidikan kita.
Lingkaran Setan dan Kegagalan Respons Pemerintah
Ketiga
masalah di atas—sistemik, struktural, dan kultural—membentuk sebuah lingkaran
setan yang saling menguatkan. Regulasi yang membelenggu membuat sekolah dan
guru tidak memiliki ruang untuk berinovasi. Kepemimpinan sekolah yang lemah
tidak mampu memanfaatkan ruang yang ada secara kreatif dan tidak memberikan
insentif bagi guru untuk berkembang. Mentalitas guru yang terdegradasi
menjadikan berbagai upaya perubahan dari atas menjadi tidak efektif.
Tragisnya,
respons pemerintah selama puluhan tahun tidak menyentuh satupun dari akar
masalah ini. Pergantian kurikulum, meskipun dilakukan dengan niat baik dan
basis pemikiran yang solid, tidak akan mengubah apapun jika guru-guru tidak
mengubah praktik mengajarnya. Pelatihan guru, sebanyak dan semahal apapun,
tidak akan berdampak jika tidak ada mekanisme yang memastikan hasil pelatihan
diimplementasikan dan tidak ada konsekuensi bagi yang tidak berubah.
Pemerintah
terjebak dalam logika teknis-administratif yang mengabaikan dimensi struktural
dan kultural. Diasumsikan bahwa memberikan kurikulum yang lebih baik dan
melatih guru akan secara otomatis menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.
Padahal, yang menentukan adalah bukan apa yang tertulis dalam dokumen
kurikulum, melainkan apa yang terjadi di kelas. Dan apa yang terjadi di kelas
ditentukan oleh pilihan-pilihan individual guru yang dipengaruhi oleh insentif,
pengawasan, dan kultur institusional.
Menuju Reformasi yang Menyentuh Akar Masalah
Jika
Indonesia serius ingin meningkatkan mutu pendidikannya, maka reformasi harus
menyasar ketiga akar masalah secara simultan dan terintegrasi.
Pertama,
reformasi sistemik harus difokuskan pada deregulasi yang memberi otonomi lebih
besar kepada sekolah, penyederhanaan beban administrasi guru secara radikal,
dan peninjauan ulang kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif terhadap
peningkatan mutu. Guru harus dibebaskan dari belenggu administratif agar bisa
fokus pada esensi tugasnya: mengajar dan mendidik.
Kedua,
reformasi struktural harus diprioritaskan pada pembenahan sistem rekrutmen,
pengembangan, dan evaluasi kepala sekolah. Rekrutmen harus didasarkan pada
meritokrasi yang ketat, bebas dari intervensi politik dan praktik KKN. Kepala sekolah
harus dibekali dengan kompetensi kepemimpinan instruksional, bukan sekadar
kompetensi manajerial-administratif. Sistem evaluasi kinerja yang bermakna
harus dikembangkan, dengan konsekuensi yang jelas bagi yang berprestasi maupun
yang gagal.
Ketiga,
transformasi kultural membutuhkan waktu paling panjang namun harus dimulai
segera. Ini mencakup pembangunan sistem diferensiasi yang jelas antara guru
berkinerja tinggi dan rendah, penciptaan mekanisme peer accountability di
kalangan guru, dan yang terpenting, kepemimpinan kepala sekolah yang mampu
menggerakkan dan menginspirasi.
Penutup
Rendahnya
mutu pendidikan Indonesia bukanlah masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan
solusi teknis semata. Ini adalah masalah sistemik, struktural, dan kultural
yang membutuhkan transformasi mendasar pada ketiga dimensi. Selama pemerintah
terus menjawab persoalan ini dengan mengganti kurikulum dan mengadakan
pelatihan—tanpa menyentuh akar masalah berupa regulasi yang membelenggu,
kepemimpinan sekolah yang tidak berfungsi, dan mentalitas guru yang
terdegradasi—maka Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran kemunduran yang
sama.
Data-data
yang mengkhawatirkan—skor PISA yang stagnan di posisi bawah, lonjakan kasus
kekerasan di sekolah, ketidakselarasan pembelajaran dengan tuntutan
asesmen—semuanya adalah simptom dari penyakit yang lebih dalam. Mengobati
simptom tanpa mengobati penyakit adalah resep untuk kegagalan berulang.
Sudah
saatnya Indonesia berani melakukan terobosan yang lebih fundamental:
membebaskan sekolah dan guru dari belenggu birokrasi, memastikan orang-orang
terbaik dan paling berkomitmen yang memimpin sekolah, dan membangun kultur
profesional di kalangan guru di mana kualitas dihargai dan mediokritas tidak
ditoleransi. Tanpa keberanian untuk menyentuh akar masalah ini, cita-cita
pendidikan berkualitas akan tetap menjadi fatamorgana—indah dipandang dari
kejauhan namun tidak pernah bisa diraih.
Daftar Referensi
Beeby,
C.E. (1981). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan.
Jakarta: LP3ES.
Gardner,
J.W. (1986). The Nature of Leadership: Introductory Considerations.
Washington: Independent Sector.
Hadjisarosa,
P. (1997). Konsepsi Dasar Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdikbud.
Hatton,
N. & Smith, D. (1992). Perspective on Effective School. Journal of
Education Policy, 7(2).
Jaringan
Pemantau Pendidikan Indonesia. (2024). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan di
Lingkungan Pendidikan Tahun 2024. Jakarta: JPPI.
Keith, S.
& Girling, R.H. (1991). Education, Management, and Participation: New
Directions in Educational Administration. Boston: Allyn and Bacon.
Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0296/U/1996 tentang Penugasan Guru
Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah.
Lipham,
J.M. dalam Wahjosumidjo. (2005). Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan
Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
OECD.
(2023). PISA 2022 Results (Volume I): The State of Learning and Equity in
Education. Paris: OECD Publishing.
Perhimpunan
Pendidikan dan Guru (P2G). (2024). Survei Beban Administrasi Guru dalam
Implementasi Platform Merdeka Mengajar. Jakarta: P2G.
Peraturan
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah.
Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 40 Tahun 2021
tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Silver,
P.F. (1983). Educational Administration: Theoretical Perspectives on
Practice and Research. New York: Harper & Row.
Slamet,
P.H. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Stringer,
R. (2002). Leadership and Organizational Climate. New Jersey: Prentice
Hall.
Surat
Edaran Bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 9 Tahun 2025 dan Nomor 5 Tahun 2025 tentang
Pengangkatan, Penugasan, Pemindahan, dan Pemberhentian Guru sebagai Kepala
Sekolah dan Pengawas Sekolah.
Komentar