Langsung ke konten utama

Mengapa Mutu Pendidikan Indonesia Tak Kunjung Membaik: Menggugat Akar Permasalahan yang Terabaikan

Pendidikan Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Fakta ini bukan sekadar asumsi pesimistis, melainkan realitas yang terdokumentasi dalam berbagai indikator internasional dan nasional. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa skor Indonesia dalam kemampuan membaca mencapai 359, matematika 366, dan sains 383—seluruhnya terpaut lebih dari 100 poin dari rata-rata global. Meskipun peringkat Indonesia naik 5-6 posisi dari tahun 2018, kenaikan ini lebih disebabkan oleh penurunan drastis negara-negara lain akibat pandemi, bukan karena perbaikan substansial kualitas pembelajaran kita. Yang lebih memprihatinkan, hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai level 5-6 (tingkat kemahiran tertinggi) dalam ketiga aspek yang diujikan.

Rendahnya mutu pendidikan tidak hanya tampak dari capaian akademik. Dimensi non-akademik pun menunjukkan potret yang sama kelamnya. Sepanjang tahun 2024, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan—melonjak lebih dari 100 persen dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 285 kasus. Dari jumlah tersebut, 31 persen berkaitan dengan perundungan (bullying), dengan bentuk kekerasan seksual mendominasi 42 persen kasus. Berbagai peristiwa tragis—mulai dari kasus "Geng Tai" di SMA Binus School Serpong hingga kematian siswa SD di Subang akibat perundungan—menjadi cermin betapa pendidikan karakter yang digaungkan selama ini hanya menjadi slogan kosong.

Menghadapi berbagai indikator kegagalan ini, respons pemerintah selama puluhan tahun nyaris seragam: mengganti kurikulum dan mengadakan pelatihan guru. Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah berganti kurikulum setidaknya 12 kali—dari Kurikulum 1947 hingga Kurikulum Merdeka. Setiap pergantian menteri pendidikan seolah menjadi momentum untuk melahirkan kurikulum baru, hingga muncul sindiran populer "ganti menteri, ganti kurikulum." Sementara itu, berbagai program pelatihan guru terus digulirkan dengan anggaran besar, namun hasilnya tetap mengecewakan.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah: mengapa berbagai intervensi tersebut tak kunjung membuahkan hasil? Tesis yang hendak diajukan dalam tulisan ini adalah bahwa respons pemerintah selama ini tidak pernah menyentuh akar permasalahan mengapa mutu pendidikan rendah. Ada tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab kronis rendahnya mutu pendidikan di Indonesia: masalah sistemik (regulasi yang menghambat), masalah struktural (kepemimpinan sekolah yang tidak berfungsi), dan masalah kultural (mentalitas guru yang terdegradasi). Ketiganya membentuk lingkaran setan yang tidak akan pernah terputus hanya dengan mengganti kurikulum atau mengadakan pelatihan semata.

Masalah Pertama: Regulasi yang Membelenggu

Ironi terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia adalah bahwa regulasi yang seharusnya menjadi payung pelindung dan pendorong kemajuan justru berubah menjadi belenggu yang mematikan inisiatif dan inovasi sekolah. Sistem yang diciptakan dengan niat baik pada akhirnya menghasilkan efek yang bertolak belakang dengan tujuannya.

Kebijakan Sekolah Gratis yang Membunuh Manajemen Berbasis Sekolah

Perubahan paradigma pengelolaan pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah melahirkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Undang-undang mengamanatkan bahwa sekolah memiliki otonomi untuk mengelola sumber daya secara mandiri, mengembangkan program sesuai kebutuhan lokal, dan membangun partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. MBS menuntut sekolah menjadi organisasi pembelajar yang dinamis, kreatif, dan responsif terhadap kebutuhan peserta didik dan masyarakat.

Namun ironi yang menyakitkan terjadi: kebijakan pendidikan gratis yang diamanatkan konstitusi justru diimplementasikan dengan cara yang membunuh semangat MBS. "Gratis" diartikan secara absolut dan kaku sehingga sekolah kehilangan ruang gerak untuk mengelola sumber daya secara otonom. Setiap upaya sekolah untuk mengembangkan program inovatif yang membutuhkan dukungan tambahan dari masyarakat langsung dicap sebagai "pungutan liar" dan dianggap melanggar prinsip pendidikan gratis.

Akibatnya, amanat MBS menjadi tidak bisa dilaksanakan. Sekolah yang seharusnya diberi otonomi untuk berkembang sesuai potensi dan kebutuhannya justru terbelenggu oleh ketakutan akan sanksi. Partisipasi masyarakat yang menjadi pilar utama MBS—termasuk dalam bentuk dukungan sumber daya—menjadi tabu untuk dibicarakan. Sekolah terjebak dalam paradigma "yang penting jalan"—memenuhi standar minimal administratif tanpa ambisi untuk melampaui batas-batas mediokritas. Sekolah negeri yang seharusnya menjadi ujung tombak pendidikan berkualitas kehilangan daya untuk berinovasi, sementara sekolah swasta berkualitas hanya bisa diakses oleh kalangan mampu. Kesenjangan kualitas pendidikan antarkelompok sosial ekonomi pun semakin menganga.

Beban Administrasi yang Mencekik

Masalah sistemik kedua yang tidak kalah destruktif adalah beban administrasi guru yang sudah melampaui batas kewajaran. Guru-guru Indonesia hari ini lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer mengisi berbagai platform digital, membuat dokumen perencanaan pembelajaran yang bertumpuk-tumpuk, dan memenuhi berbagai laporan yang dituntut birokrasi, daripada waktu yang mereka habiskan untuk benar-benar mengajar dan berinteraksi dengan siswa.

Survei Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pada penghujung 2023 hingga awal 2024 mengungkap fakta yang mencengangkan: 83,4 persen guru mengakui bahwa Platform Merdeka Mengajar (PMM)—yang ironisnya dibuat dengan semangat "memerdekakan"—justru menambah beban administrasi mereka. Berbagai platform digital yang seharusnya mempermudah justru menjadi tambahan pekerjaan karena tidak terintegrasi satu sama lain. Guru harus mengisi PMM, e-Kinerja, Dapodik, dan berbagai aplikasi lainnya dengan data yang sering kali tumpang tindih.

Seorang guru yang mengajar 24 jam pelajaran per minggu—standar minimal untuk sertifikasi—harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk setiap pertemuan, melakukan penilaian dengan berbagai instrumen yang rumit, mengisi jurnal mengajar, dan menyiapkan portofolio untuk supervisi. Banyak guru yang terpaksa lembur hingga larut malam di rumah untuk mengejar tenggat waktu administrasi. Akibatnya, energi dan waktu yang seharusnya dicurahkan untuk menyiapkan pembelajaran yang bermakna dan inovatif justru tersedot habis oleh ritual administratif yang seringkali tidak memiliki korelasi langsung dengan peningkatan kualitas pembelajaran.

Peraturan Beban Kerja yang Tidak Realistis

Kewajiban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu sebagai syarat pencairan tunjangan sertifikasi menciptakan dilema tersendiri. Guru-guru di sekolah dengan jumlah siswa atau rombongan belajar terbatas terpaksa "berburu jam" di sekolah lain, bahkan ada yang mengajar di tiga hingga empat sekolah berbeda hanya untuk memenuhi kuota administratif. Kondisi ini menghasilkan guru-guru yang kelelahan, tercerai-berai fokusnya, dan tidak memiliki ikatan emosional yang kuat dengan satu komunitas sekolah.

Sistem berbasis jam tatap muka ini juga mengabaikan realitas bahwa pekerjaan guru jauh melampaui aktivitas di dalam kelas. Waktu untuk membimbing siswa bermasalah, mengembangkan diri, berkolaborasi dengan rekan sejawat, atau menjalin komunikasi dengan orang tua—semua aktivitas penting ini tidak "dihitung" dalam sistem yang reduktif dan berorientasi kuantitas semata.

Masalah Kedua: Patologi Struktural Kepemimpinan Sekolah

Jika regulasi adalah kerangka yang menentukan batas-batas gerak institusi pendidikan, maka kepemimpinan sekolah adalah motor penggerak yang menentukan ke arah mana energi institusi akan dialirkan. Tragisnya, Indonesia mengalami krisis kepemimpinan sekolah yang akut—sebuah patologi struktural yang berakar pada political will yang lemah dari para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah daerah.

Prof. DR. Ibrahim Bafadal, guru besar Universitas Negeri Malang yang juga ketua tim perumus Peraturan Menteri tentang Pengadaan Kepala Sekolah, pernah menggambarkan posisi strategis kepala sekolah dengan ungkapan yang tajam: "Tidak ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang tidak bisa mendidik. Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala sekolah yang tidak bisa membuat guru bisa mendidik." Ungkapan ini menegaskan bahwa kepala sekolah adalah kunci dari seluruh mata rantai peningkatan mutu pendidikan.

Posisi Strategis Kepala Sekolah yang Terabaikan

Memang benar bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak terjadi di kantor Dinas Pendidikan atau ruang kepala sekolah, melainkan di dalam kelas dengan guru sebagai ujung tombaknya. Namun untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan iklim sekolah yang kondusif, motivasi kerja dan komitmen guru yang tinggi—semua ini harus diciptakan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer. Sebagaimana ditegaskan oleh Lipham James, posisi kepala sekolah adalah yang menentukan titik pusat dan irama sekolah; bahkan keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. Kepala sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi penggerak kehidupan sekolah.

Penelitian tentang efektivitas sekolah yang dikutip dalam Coleman Report menyebutkan bahwa 32 persen prestasi siswa dipengaruhi oleh kualitas manajemen sekolah. Ini berarti kinerja kepala sekolah dalam manajemen pendidikan berdampak langsung pada prestasi siswa. Di negara-negara maju, masalah kepemimpinan sekolah ditangani dengan sangat serius. Singapura memiliki Leadership School khusus untuk melatih dan mempersiapkan calon kepala sekolah—lembaga ini bahkan sudah go internasional. Malaysia, Korea Selatan, Australia, dan negara-negara Eropa juga memiliki lembaga sejenis. Indonesia? Kita masih berkutat dengan persoalan paling mendasar: bagaimana mendapatkan kepala sekolah yang kompeten.

Rekrutmen Kepala Sekolah yang Sarat KKN

Kepala sekolah merupakan titik terpenting dalam ekosistem pendidikan di level satuan pendidikan. Dialah kompas yang mengarahkan sekolah, lokomotif yang menarik gerbong guru dan siswa menuju tujuan mulia pendidikan. Untuk melahirkan kepala sekolah yang profesional dibutuhkan sistem yang kondusif, baik rekrutmen maupun pembinaan. Namun dari proses rekrutmen yang sarat KKN, mustahil dilahirkan seorang kepala sekolah yang profesional.

Ironi yang menyakitkan adalah bahwa rekrutmen kepala sekolah di Indonesia masih sangat sarat dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di kalangan guru, beredar seloroh yang menyakitkan namun merepresentasikan realitas: untuk menjadi kepala sekolah, "sajene kudu akeh" (harus banyak sesajen/upeti). Kedekatan dengan penguasa daerah—bupati, walikota, atau kepala dinas—seringkali menjadi faktor yang lebih menentukan dibanding kapasitas dan rekam jejak profesional seorang calon. Tidak sedikit sekolah yang sebenarnya memiliki potensi besar—karena siswa yang masuk merupakan siswa berprestasi—tetapi tidak berkembang, stagnan, bahkan mengalami kemunduran akibat dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak kompeten.

Praktik transaksional dalam pengangkatan kepala sekolah ini menghasilkan dua konsekuensi destruktif. Pertama, ia menyingkirkan calon-calon terbaik yang tidak memiliki akses politik atau tidak bersedia bermain dalam logika transaksional. Kedua, kepala sekolah yang diangkat melalui jalur KKN sejak awal sudah terbebani "utang budi" politik yang harus dibayar selama masa jabatannya, sehingga orientasinya lebih kepada "menyenangkan patron" daripada memajukan sekolah.

Kepala Sekolah sebagai Pejabat Formal Belaka

Kepala sekolah hasil rekrutmen bermasalah ini pada umumnya hanya memainkan peran formal: memastikan sekolah berjalan, tidak ada masalah yang mencuat ke publik, laporan-laporan administratif terpenuhi, dan rutinitas birokrasi terlaksana. Mereka tidak memiliki visi nyata tentang ke mana sekolah hendak dibawa, tidak memiliki program konkret untuk peningkatan mutu pembelajaran, dan tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan.

Prinsip yang dianut adalah "yang penting aman"—sebuah orientasi survival yang bertolak belakang dengan semangat transformasi pendidikan. Kepala sekolah seperti ini lebih sibuk memastikan dokumen akreditasi lengkap daripada memastikan guru-gurunya benar-benar mengajar dengan efektif. Lebih khawatir dengan teguran dari dinas pendidikan daripada dengan kenyataan bahwa siswanya tidak memahami materi pembelajaran.

Masa Jabatan dan Regulasi Terbaru: Harapan atau Sekadar Perubahan di Atas Kertas?

Proses rekrutmen kepala sekolah yang baik pun belum cukup untuk menghasilkan kepala sekolah yang tangguh dan profesional jika tidak disertai pembinaan yang baik—yaitu pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan reward and punishment yang tegas dan konsekuen.

Sesungguhnya regulasi tentang periodisasi masa jabatan kepala sekolah sudah ada sejak lama. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996 dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 162/U/2003 telah mengatur bahwa masa jabatan kepala sekolah adalah 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang. Namun pada tataran praktis, implementasi regulasi tersebut tidak pernah berjalan mulus. Banyak daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmendikbud 0296/U/1996 disiasati dengan memutihkan masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi—kepala sekolah yang hampir habis masa jabatannya dirotasi ke sekolah lain dan masa jabatannya kembali ke nol tahun. Akibatnya, seorang kepala sekolah bisa menjabat puluhan tahun dengan berpindah-pindah sekolah tanpa pernah dievaluasi kinerjanya secara serius.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah menerbitkan regulasi terbaru, yaitu Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah yang mulai berlaku sejak 14 Mei 2025, mencabut aturan lama Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021. Regulasi ini memperketat mekanisme penugasan kepala sekolah dengan beberapa ketentuan penting: masa satu periode kepala sekolah adalah 4 tahun dengan perpanjangan maksimal 2 periode (total maksimal 8 tahun); kepala sekolah tidak bisa langsung dirotasi ke satuan pendidikan lain sebelum masa penugasan minimum 2 tahun terlampaui; serta persyaratan yang lebih ketat mencakup kualifikasi akademik minimal S1/D4, sertifikat pendidik, pangkat minimal Penata golongan III/c untuk ASN, pengalaman mengajar minimal 8 tahun, dan usia maksimal 56 tahun saat mulai menjabat.

Yang lebih menarik, regulasi baru ini menetapkan tahapan yang lebih sistematis: pemetaan kebutuhan kepala sekolah, seleksi calon yang transparan dan berbasis merit, serta pelatihan calon kepala sekolah sebelum penugasan. Surat Edaran Bersama Mendikdasmen dan Kepala BKN Nomor 9 Tahun 2025 dan Nomor 5 Tahun 2025 juga memperkuat kerangka kepegawaian untuk pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian kepala sekolah secara resmi dan legal.

Di atas kertas, regulasi ini menjanjikan perbaikan signifikan. Pembatasan masa penugasan membuka potensi regenerasi kepemimpinan sekolah yang membawa pembaruan manajerial. Penghapusan kewajiban sertifikat Guru Penggerak juga membuat kesempatan menjadi kepala sekolah lebih terbuka. Namun pertanyaan besarnya tetap sama: apakah regulasi ini akan diimplementasikan secara konsisten, atau akan bernasib sama dengan regulasi-regulasi sebelumnya yang disiasati dan diabaikan?

Tanpa political will yang kuat dari pemerintah daerah untuk menegakkan aturan ini secara konsisten, tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, dan tanpa sanksi yang tegas bagi pelanggaran, Permendikdasmen 7/2025 berisiko menjadi sekadar macan kertas. Pembinaan kepala sekolah seperti yang berlaku selama ini—"kepala sekolah berprestasi maupun tidak berprestasi tetap aman menjadi kepala sekolah"—bahkan kepala sekolah yang sarat dengan masalah pun tetap aman pada posisinya sampai pensiun, akan terus menjadikan mustahil lahirnya kepala sekolah yang tangguh dan profesional.

Tidak Berfungsinya Pengawasan dan Penilaian Kinerja Guru

Salah satu dampak paling nyata dari tidak berfungsinya kepemimpinan kepala sekolah adalah lumpuhnya sistem pengawasan dan penilaian kinerja guru. Kepala sekolah yang tidak memiliki visi mutu tidak akan memiliki standar untuk menilai kinerja guru. Akibatnya, supervisi pembelajaran—yang seharusnya menjadi instrumen pembinaan dan peningkatan kualitas mengajar—berubah menjadi ritual administratif yang tidak bermakna.

Menurut Paula F. Silver, iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku kepala sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok. Perilaku kepala sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian, dinamika kepemimpinan kepala sekolah dengan kelompok guru dan staf dipandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah. Interaksi antara perilaku guru dan perilaku kepala sekolah akan menentukan iklim sekolah yang terwujud—iklim yang baik dan kondusif akan menghasilkan interaksi edukatif yang efektif, meningkatkan motivasi kerja guru, dan pada akhirnya meningkatkan kinerja. Sebaliknya, iklim sekolah yang tidak kondusif akan menghancurkan semua potensi yang ada.

Kepala sekolah yang tidak berfungsi mengunjungi kelas bukan untuk mengobservasi dan memberikan umpan balik substantif tentang praktik mengajar guru, melainkan sekadar untuk mengisi checklist bahwa supervisi telah dilaksanakan. Guru yang disupervisi pun memahami bahwa ini hanyalah seremonial, sehingga tidak ada motivasi untuk menunjukkan performa terbaiknya apalagi untuk memperbaiki kelemahannya. Pengawasan yang seharusnya menjadi mekanisme quality control berubah menjadi prosedur kosong yang tidak menghasilkan perubahan apapun.

Untuk membangun sekolah efektif, menurut N. Hatton dan D. Smith, dibutuhkan kepemimpinan instruksional yang kuat, perhatian yang jelas pada hasil belajar, penghargaan murid yang tinggi, lingkungan yang baik, serta pengawasan tingkat prestasi. Semua ini hanya akan terwujud apabila seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Namun ketika kepala sekolah hanya menjalankan peran formal, seluruh prasyarat sekolah efektif ini menjadi mustahil terpenuhi.

Masalah Ketiga: Degradasi Kultural Mentalitas Guru

Masalah sistemik dan struktural yang telah diuraikan di atas tidak berdiri sendiri. Keduanya berinteraksi dan berakumulasi melahirkan masalah ketiga yang bersifat kultural: degradasi mentalitas guru. Ketika sistem tidak memberikan ruang untuk berkembang dan kepemimpinan tidak memberikan inspirasi untuk berubah, maka yang tersisa adalah kultur pragmatis yang berorientasi pada pemenuhan standar minimal.

Tidak Ada Diferensiasi antara Guru Baik dan Guru Buruk

Konsekuensi paling merusak dari tidak berfungsinya kepemimpinan kepala sekolah adalah hilangnya diferensiasi perlakuan antara guru yang berkinerja baik dan buruk. Guru rajin diperlakukan sama dengan guru malas. Guru kreatif yang mengembangkan berbagai metode pembelajaran inovatif mendapat apresiasi yang sama dengan guru yang sekadar masuk kelas. Guru berprestasi yang membawa siswanya meraih kejuaraan tidak mendapat pengakuan lebih dibanding guru bermasalah yang sering absen.

Ketika tidak ada konsekuensi atas pilihan perilaku, maka rasionalitas akan mengarahkan individu pada pilihan yang paling hemat energi. Mengapa harus bersusah payah menyiapkan pembelajaran yang menarik jika hasilnya sama saja dengan yang mengajar seadanya? Mengapa harus meluangkan waktu ekstra untuk membimbing siswa bermasalah jika tidak ada penghargaan untuk itu? Logika ini, meskipun menyedihkan, sangat manusiawi dan dapat diprediksi.

"Yang Penting Mengajar"—Degradasi Makna Profesi

Kultur yang berkembang kemudian adalah apa yang bisa disebut sebagai mentalitas "yang penting mengajar." Esensi mengajar direduksi menjadi kehadiran fisik di kelas dan penyampaian materi, terlepas dari apakah siswa benar-benar belajar atau tidak. Pertanyaan "bagaimana mengajar" menjadi tidak relevan; yang penting adalah "sudah mengajar."

Muncullah berbagai jargon yang merepresentasikan sikap sinis terhadap perubahan: "Apapun kurikulumnya, mengajarnya tetap ceramah." "Ganti kurikulum setiap lima tahun, cara mengajar tetap sama sejak 30 tahun lalu." Kurikulum boleh berganti dari KBK ke KTSP, dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, namun praktik di kelas tidak berubah signifikan. Guru tetap mendominasi dengan ceramah, siswa tetap pasif sebagai penerima informasi, penilaian tetap mengandalkan ujian pilihan ganda yang mengukur hafalan, bukan pemahaman atau kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Berbagai pelatihan yang diikuti guru—seringkali dengan biaya besar dari anggaran negara—tidak menghasilkan perubahan praktik di kelas. Setelah pelatihan berakhir, guru kembali ke sekolah dan mengajar dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Fenomena ini begitu umum hingga memunculkan sindiran "Aku Masih Seperti yang Dulu"—guru yang sudah mengikuti puluhan pelatihan namun tidak menunjukkan perubahan apapun dalam cara mengajarnya.

Disconnect antara Pembelajaran Berbasis Materi dan Tuntutan Asesmen Berbasis Kompetensi

Ironi terbesar dari degradasi kultural ini tampak dalam ketidakselarasan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang diujikan dalam berbagai asesmen. Hasil PISA yang konsisten rendah mencerminkan bahwa pembelajaran di sekolah tidak membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan literasi yang menjadi fokus asesmen internasional tersebut.

Bukti paling mutakhir dari kegagalan ini terungkap dari hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 yang baru saja diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada 1-9 November 2025. TKA, yang ditetapkan melalui Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 dan diikuti oleh lebih dari 3,3 juta siswa SMA/SMK, dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, pemahaman konsep, dan penerapan pengetahuan—bukan sekadar hafalan seperti pada Ujian Nasional sebelumnya. Soal-soal TKA menekankan Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang membutuhkan analisis, sintesis, dan evaluasi.

Hasilnya? Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti dalam pembukaan Musyawarah Nasional ke-20 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 19 November 2025 mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan: nilai matematika TKA 2025 "jeblok." Yang menarik dari pernyataan Mu'ti adalah analisisnya tentang penyebab: buruknya nilai matematika siswa bukan karena siswa bodoh, melainkan karena buku yang digunakan untuk belajar dan cara guru mengajarkan tidak membuat siswa ingin terus belajar matematika.

Pernyataan Menteri ini sesungguhnya mengkonfirmasi akar permasalahan yang lebih dalam: kesenjangan antara tuntutan kurikulum dan praktik pembelajaran di kelas. Indonesia telah menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi sejak 2004, dilanjutkan dengan KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Semua kurikulum ini pada prinsipnya menuntut pembelajaran yang mengembangkan kompetensi, bukan sekadar transfer materi. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, setiap pembelajaran harus memenuhi dua tagihan sekaligus: kompetensi atau kemampuan berpikir apa yang harus dicapai siswa, dan materi pelajaran apa yang harus dikuasai. Tujuan pembelajaran harus mencakup keduanya secara terintegrasi.

Namun kenyataannya, pembelajaran di sebagian besar sekolah masih berbasis materi. Guru mengajar dengan orientasi menyelesaikan materi sesuai buku paket, mengabaikan pengembangan kompetensi berpikir yang seharusnya menjadi tujuan utama. Ketika guru hanya fokus pada pertanyaan "materi apa yang harus disampaikan hari ini?" tanpa mempertimbangkan "kemampuan berpikir apa yang harus dikembangkan melalui materi ini?", maka yang terjadi adalah pembelajaran yang dangkal—siswa menghafal fakta dan rumus tanpa memahami konsep, menyelesaikan soal rutin tanpa mampu menerapkan pengetahuan dalam konteks baru.

Akibatnya, ketika siswa dihadapkan pada soal TKA yang menuntut penalaran—misalnya menganalisis hubungan antara luas lingkaran dan kecepatan putaran roda dalam konteks nyata, bukan sekadar menghitung luas lingkaran dengan rumus—mereka gagap. Selama 12 tahun bersekolah, mereka hanya dilatih menghafal rumus dan mengerjakan soal-soal rutin yang jawabannya bisa ditemukan langsung di buku paket. Pembelajaran yang mereka alami tidak relevan dengan tuntutan asesmen yang mengukur kemampuan berpikir sesungguhnya.

Ini adalah bukti nyata bahwa perubahan kurikulum tidak serta-merta menghasilkan perubahan pembelajaran. Dokumen kurikulum bisa berganti setiap beberapa tahun dengan semangat berbasis kompetensi yang sama, namun jika mentalitas dan praktik guru di kelas tidak berubah—tetap ceramah, tetap berbasis materi, tetap mengandalkan buku paket sebagai satu-satunya acuan—maka kurikulum seindah apapun hanya akan menjadi dokumen mati. Jargon "apapun kurikulumnya, mengajarnya tetap sama" bukan sekadar sindiran, melainkan potret akurat dari kegagalan transformasi pendidikan kita.

Lingkaran Setan dan Kegagalan Respons Pemerintah

Ketiga masalah di atas—sistemik, struktural, dan kultural—membentuk sebuah lingkaran setan yang saling menguatkan. Regulasi yang membelenggu membuat sekolah dan guru tidak memiliki ruang untuk berinovasi. Kepemimpinan sekolah yang lemah tidak mampu memanfaatkan ruang yang ada secara kreatif dan tidak memberikan insentif bagi guru untuk berkembang. Mentalitas guru yang terdegradasi menjadikan berbagai upaya perubahan dari atas menjadi tidak efektif.

Tragisnya, respons pemerintah selama puluhan tahun tidak menyentuh satupun dari akar masalah ini. Pergantian kurikulum, meskipun dilakukan dengan niat baik dan basis pemikiran yang solid, tidak akan mengubah apapun jika guru-guru tidak mengubah praktik mengajarnya. Pelatihan guru, sebanyak dan semahal apapun, tidak akan berdampak jika tidak ada mekanisme yang memastikan hasil pelatihan diimplementasikan dan tidak ada konsekuensi bagi yang tidak berubah.

Pemerintah terjebak dalam logika teknis-administratif yang mengabaikan dimensi struktural dan kultural. Diasumsikan bahwa memberikan kurikulum yang lebih baik dan melatih guru akan secara otomatis menghasilkan pembelajaran yang lebih baik. Padahal, yang menentukan adalah bukan apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum, melainkan apa yang terjadi di kelas. Dan apa yang terjadi di kelas ditentukan oleh pilihan-pilihan individual guru yang dipengaruhi oleh insentif, pengawasan, dan kultur institusional.

Menuju Reformasi yang Menyentuh Akar Masalah

Jika Indonesia serius ingin meningkatkan mutu pendidikannya, maka reformasi harus menyasar ketiga akar masalah secara simultan dan terintegrasi.

Pertama, reformasi sistemik harus difokuskan pada deregulasi yang memberi otonomi lebih besar kepada sekolah, penyederhanaan beban administrasi guru secara radikal, dan peninjauan ulang kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif terhadap peningkatan mutu. Guru harus dibebaskan dari belenggu administratif agar bisa fokus pada esensi tugasnya: mengajar dan mendidik.

Kedua, reformasi struktural harus diprioritaskan pada pembenahan sistem rekrutmen, pengembangan, dan evaluasi kepala sekolah. Rekrutmen harus didasarkan pada meritokrasi yang ketat, bebas dari intervensi politik dan praktik KKN. Kepala sekolah harus dibekali dengan kompetensi kepemimpinan instruksional, bukan sekadar kompetensi manajerial-administratif. Sistem evaluasi kinerja yang bermakna harus dikembangkan, dengan konsekuensi yang jelas bagi yang berprestasi maupun yang gagal.

Ketiga, transformasi kultural membutuhkan waktu paling panjang namun harus dimulai segera. Ini mencakup pembangunan sistem diferensiasi yang jelas antara guru berkinerja tinggi dan rendah, penciptaan mekanisme peer accountability di kalangan guru, dan yang terpenting, kepemimpinan kepala sekolah yang mampu menggerakkan dan menginspirasi.

Penutup

Rendahnya mutu pendidikan Indonesia bukanlah masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan solusi teknis semata. Ini adalah masalah sistemik, struktural, dan kultural yang membutuhkan transformasi mendasar pada ketiga dimensi. Selama pemerintah terus menjawab persoalan ini dengan mengganti kurikulum dan mengadakan pelatihan—tanpa menyentuh akar masalah berupa regulasi yang membelenggu, kepemimpinan sekolah yang tidak berfungsi, dan mentalitas guru yang terdegradasi—maka Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran kemunduran yang sama.

Data-data yang mengkhawatirkan—skor PISA yang stagnan di posisi bawah, lonjakan kasus kekerasan di sekolah, ketidakselarasan pembelajaran dengan tuntutan asesmen—semuanya adalah simptom dari penyakit yang lebih dalam. Mengobati simptom tanpa mengobati penyakit adalah resep untuk kegagalan berulang.

Sudah saatnya Indonesia berani melakukan terobosan yang lebih fundamental: membebaskan sekolah dan guru dari belenggu birokrasi, memastikan orang-orang terbaik dan paling berkomitmen yang memimpin sekolah, dan membangun kultur profesional di kalangan guru di mana kualitas dihargai dan mediokritas tidak ditoleransi. Tanpa keberanian untuk menyentuh akar masalah ini, cita-cita pendidikan berkualitas akan tetap menjadi fatamorgana—indah dipandang dari kejauhan namun tidak pernah bisa diraih.


Daftar Referensi

Beeby, C.E. (1981). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Jakarta: LP3ES.

Gardner, J.W. (1986). The Nature of Leadership: Introductory Considerations. Washington: Independent Sector.

Hadjisarosa, P. (1997). Konsepsi Dasar Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Hatton, N. & Smith, D. (1992). Perspective on Effective School. Journal of Education Policy, 7(2).

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia. (2024). Laporan Tahunan Kasus Kekerasan di Lingkungan Pendidikan Tahun 2024. Jakarta: JPPI.

Keith, S. & Girling, R.H. (1991). Education, Management, and Participation: New Directions in Educational Administration. Boston: Allyn and Bacon.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0296/U/1996 tentang Penugasan Guru Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.

Lipham, J.M. dalam Wahjosumidjo. (2005). Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

OECD. (2023). PISA 2022 Results (Volume I): The State of Learning and Equity in Education. Paris: OECD Publishing.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). (2024). Survei Beban Administrasi Guru dalam Implementasi Platform Merdeka Mengajar. Jakarta: P2G.

Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.

Silver, P.F. (1983). Educational Administration: Theoretical Perspectives on Practice and Research. New York: Harper & Row.

Slamet, P.H. (2002). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Stringer, R. (2002). Leadership and Organizational Climate. New Jersey: Prentice Hall.

Surat Edaran Bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 9 Tahun 2025 dan Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengangkatan, Penugasan, Pemindahan, dan Pemberhentian Guru sebagai Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan AI dalam Perencanaan Pembelajaran.

  Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh guru adalah beban tugas administratif yang dapat menyita waktu dan energi, termasuk administrasi pembelajaran seperti modul ajar atau RPP. Mempersiapkan administrasi guru merupakan kegiatan perencanaan pembelajaran. Dengan bantuan AI, tugas-tugas seperti administrasi pembelajaran (TP, ATP, Modul Ajar/RPP), manajemen kelas, penilaian siswa, dan pengelolaan data dapat dilakukan secara otomatis dan efisien. Hal ini memungkinkan pendidik untuk lebih fokus pada pengajaran dan interaksi dengan siswa.   Selain itu, pada paradigma baru pembelajaran, pembelajaran berpusat pada peserta didik sehingga guru harus memperhatikan kebutuhan peserta didik seperti kesiapan belajar, profil belajar dan minat belajar. Dalam membuat perencanaan pembelajaran, guru membutuhkan data-data tentang kebutuhan peserta didik seperti tingkat penguasaan peserta didik terhadap pengetahuan awal materi yang akan dipelajari, preferensi belajar peserta didik dan ...

Pemanfaatan AI untuk Pembuatan Bahan Ajar dan Media Pembelajaran.

  Pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk menyediakan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta didik. Pendekatan ini tidak lagi menganggap siswa sebagai kelompok homogen, melainkan menghargai setiap individu dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, bahan ajar dan media pembelajaran memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa setiap siswa dapat mengakses dan memahami materi dengan cara yang paling sesuai untuk mereka. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, bahan ajar dan media pembelajaran perlu memiliki fleksibilitas yang tinggi. Sebagai contoh, untuk siswa yang visual learner , bahan ajar dan media pembelajaran berbasis grafik atau diagram mungkin lebih efektif dibandingkan teks naratif panjang. Sedangkan untuk siswa yang auditori, penggunaan bahan ajar berupa podcast atau rekaman audio dapat meningkatkan pemahaman mereka. Di sisi lain, untuk siswa kinestetik, bahan ajar yang memungkinkan mer...

Wahai orangtua, guru, kepala sekolah, pejabat pendidikan berhati-hatilah!

  Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan bersekolah di sekolah yang bagus. Mereka berusaha dengan berbagai cara, seperti mengikuti bimbingan belajar pada lembaga bimbingan belajar, memanggil guru privat, melengkapi sarana belajar dan meminta jam belajar tambahan di sekolah. Namun tidak sedikit orangtua mengambil jalan pintas, diterima di sekolah yang diinginkan melalui jalur illegal, masuk melalui jalur yang tidak ada dalam ketentuan yang sudah ditetapkan. Jalur yang dikenal sebagai bina lingkungan illegal. Disadari atau tidak oleh orangtua, oknum pejabat, guru dan kepala sekolah yang terlibat memasukkan calon siswa melalui jalur bina lingkungan ilegal pada hakikatnya mereka sedang melakukan investasi yang buruk pada masa depan anak, yang tidak mustahil malah menghancurkan anak itu sendiri kelak. Praktik bina lingkungan ilegal bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan oleh sekolah, yang menjadi tujuan pendidikan. Pada saat...