Istilah Bina lingkungan muncul pada
pertengahan tahun 70-an, yaitu saat giat-giatnya industrialisasi di berbagai
daerah Indonesia. Bina lingkungan merupakan kepedulian industri/pabrik/perusahaan
yang memberikan kesempatan pada penduduk di sekitar pabrik/perusahaan itu
berdiri untuk bekerja atau menjadi karyawan. Bina lingkungan merupakan suatu upaya agar masyarakat sekitar berdirinya
perusahaan marasakan manfaat kehadiran perusahaan di lingkungannya.
Bina lingkungan pada pendidikan merupakan salah satu cara penerimaan peserta
didik baru melalui jalur non akademis, biasanya melalui prestasi non akademik, domisil atau siswa tidak mampu secara ekonomi. Sebagai contoh, Pemerintah kota
Bandung sejak tahun pelajaran 2004/2005 mengeluarkan SK Wali Kota
Bandung Nomor
421/kep.413-Huk/2004 yang memberikan kesempatan calon siswa tidak mampu untuk
masuk melalui jalur non akademik. Pada
PPDB tahun 2012 keluar SK bersama Kemdikbud dan Kemenag yang mewajibkan sekolah
memberikan daya tampungnya sebesar 20 % untuk siswa yang tidak mampu. Pemerintah kota Tangerang pada tahun pelajaran 2014/2015
telah mengeluarkan kebijakan untuk
memberikan alokasi 30% daya tampung setiap sekolah negeri pada calon siswa yang
berdomisili di sekitar lingkungan sekolah
Pada
perkembangannya, di kalangan pendidikan, istilah Bina Lingkungan lebih dikenal sebagai cara
masuk sekolah negeri melalui jalur belakang atau jalur ilegal, yaitu calon
siswa diterima tidak melalui sistem yang berlaku, tapi biasanya melalui ketebelece
atau surat sakti pejabat, jual beli bangku, melalui oknum kepala sekolah atau
oknum guru. Bina lingkungan illegal tumbuh subur sejak era otonomi daerah. Pada
otonomi daerah ini pendidikan dari
tingkat dasar sampai menengah dikelola oleh daerah kabupaten/kota. Pada saat
masa penerimaan siswa baru, pada banyak daerah terjadi bagi-bagi jatah di
kalangan orang-orang dekat kepala daerah, seperti tim sukses kepala daerah,
anggota legislatif, pejabat, oknum wartawan dan oknum aktivis LSM.
Bina lingkungan illegal menjadi noktah hitam pendidikan, menambah buram
wajah pendidikan kita. Praktik bina lingkungan illegal bertentangan dengan
tujuan pendidikan itu sendiri dan nilai-nilai yang dikembangkan oleh
pendidikan. Praktik bina lingkungan
ilegal ibarat memasukan kayu lapuk yang penuh rayap ke dalam tumpukan kayu-kayu
bagus, yang bukannya membuat kayu itu menjadi bagus tapi kayu-kayu yang bagus
menjadi rusak digerogoti oleh rayap-rayap dari kayu lapuk.
Tati Sopiati (2010)
dalam penelitiannya terhadap siswa SMA favorit di Bandung yang masuk melalui jalur bina
lingkungan legal menyimpulkan bahwa siswa-siswa yang masuk melalui jalur bina
lingkungan mengalami permasalahan penyesuaian diri dan akademis. Permasalahan
penyesuaian diri ini di antaranya: (a) terlihat dari hasil prestasi belajar
yang diberada di bawah SKBM (Standar Kompetensi Belajar Minimal) hampir untuk
semua mata pelajaran; (b) perhatian siswa mudah teralih dan lambat dalam
menangkap pelajaran terutama mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia; (c)
siswa memperlihatkan kondisi yang tidak konsisten seperti terlihat over confidence dan situasi lain siswa berubah
menjadi tidak percaya diri serta cenderung menarik diri; (d) beberapa siswa
memperlihatkan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman, melanggar
tata tertib sekolah, motivasi belajar yang turun, dan membolos pada pelajaran
tertentu; (e) munculnya rasa rendah diri karena ketidakseimbangan antara
prestasi non-akademis dan prestasi
akademis; serta (f) pada siswa bina
lingkungan menunjukkan adanya sikap mengisolasi diri.
Penelitian Tati
Sopiati menggambarkan kondisi siswa yang diterima melalui jalur bina lingkungan
yang legal. Mayoritas dari siswa itu mengalami masalah dalam mengikuti
pelajaran di sekolah. Bagaimana dengan siswa yang diterima melalui jalur bina
lingkungan ilegal?
Setiap orangtua
pasti mengharapkan anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan bersekolah di
sekolah yang bagus. Mereka berusaha dengan berbagai cara, seperti mengikuti
bimbingan belajar pada lembaga bimbingan belajar, memanggil guru privat,
melengkapi sarana belajar dan meminta jam belajar tambahan di sekolah.
Namun tidak sedikit orangtua mengambil
jalan pintas, diterima di sekolah yang diinginkan melalui jalur bina lingkungan
ilegal.
Disadari atau tidak
oleh orangtua, oknum pejabat, guru dan
kepala sekolah yang terlibat memasukkan calon siswa melalui jalur bina
lingkungan ilegal pada hakikatnya mereka sedang melakukan investasi yang buruk
pada masa depan anak, yang tidak mustahil malah menghancurkan anak itu sendiri
kelak. Praktik bina lingkungan ilegal bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran
yang diajarkan oleh sekolah, yang menjadi tujuan pendidikan. Pada saat
memasukan anak ke sekolah tujuan dengan jalur bina lingkungan ilegal, pada
hakikatnya orangtua sedang mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai kebenaran, menafikan nilai-nilai kebenaran. Disadari atau tidak
oleh orangtua dan sekolah, saat mereka melakukan praktik bina lingkungan ilegal
sebenarnya mereka tengah mengajarkan pada siswa: ketidakjujuran, kebohongan,
menghalalkan segala cara, menyuap, menyalahgunakan kekuasaan/jabatan, kolusi, nepotisme
dan merampas hak orang lain.
Saat seorang anak
calon siswa masuk dengan jalur bina lingkungan ilegal, saat itu anak sedang
belajar ketidakjujuran. Anak tahu dan
merasa bahwa dia sebenarnya tidak memenuhi syarat di sekolah itu, baik secara
nilai atau prosedur. Anak tahu bahwa telah terjadi kebohongan dalam proses diterimanya
dia di sekolah bersangkutan, anak sedang
belajar kebohongan dan orangtua maupun sekolah telah mengajarkan
kebohongan. Orangtua dan sekolah sedang
mengajarkan bahwa peraturan itu bisa dilanggar, bisa ditabrak dan diabaikan, yang
penting punya kekuasaan, uang atau koneksi. Orangtua dan sekolah telah
mengajarkan menghalalkan segala cara pada anak.
Ketika seorang anak
calon siswa diterima di sekolah yang diinginkan dengan cara “jual beli bangku”,
sesungguhnya orangtua dan sekolah sedang mengajarkan pada anak penyalahgunaan
uang untuk meraih tujuan atau suap. Ketika seorang anak calon siswa diterima di
sekolah yang diinginkan melalui surat sakti dari pejabat, sesungguhnya orangtua
dan sekolah sedang mengajarkan bagaimana menyalah gunakan jabatan dalam
mencapai tujuan. Ketika seorang anak calon siswa diterima di sekolah yang
diinginkan dengan bantuan keluarga yang bekerja di sekolah atau Dinas
Pendidikan, sesungguhnya anak sedang diajarkan nepotisme. Ketika seorang anak calon siswa diterima
disekolah tujuan karena bantuan dan kerjasama dengan oknum kepala sekolah,
oknum guru, oknum pegawai Dinas Pendidikan, oknum wartawan atau oknum aktivis
LSM, sesungguhnya orangtua telah mengajarkan perilaku kolusi.
Ketidak jujuran,
kebohongan, menghalalkan segala cara, menyuap, penyalahgunaan
kekuasaan/jabatan, kolusi dan nepotisme, semua merupakan unsur-unsur perilaku
korup. Dengan kata lain praktik bina lingkungan ilegal merupakan pelajaran perilaku
korup, pelajaran korupsi. Maka sangat wajar kalau korupsi sangat susah
diberantas di negeri ini karena pendidikan memberikan andil dalam membentuk
perilaku korup pada siswa.
Dalam praktik bina
lingkungan ilegal telah terjadi
perampasan hak, yaitu anak-anak calon siswa yang secara nilai seharusnya
diterima namun tersingkir dalam seleksi. Mereka tersingkir karena kuota sekolah
berkurang dipakai untuk siswa melalui jalur bina lingkungan ilegal. Sebuah
sekolah yang daya tampungnya 360 siswa dan yang dialokasikan untuk seleksi
hanya 260 siswa, sementara sisanya diisi siswa dari jalur bina lingkuangan
ilegal, maka ada 100 orang siswa yang dirampas haknya. Ada 100 orang siswa yang
terdzalimi oleh praktik bina lingkungan ilegal. Disadari atau tidak, ketika seorang
anak diterima melalui jalur bina lingkungan ilegal, anak telah diajarkan untuk
merampas hak orang lain.
“Wallahu a’lam bish-showab”
Komentar