Langsung ke konten utama

“Halusinasi Pendidikan di Media Sosial: Membedah Mitos, Salah Kaprah, dan Bias Nalar dalam Perdebatan Kurikulum dan Mutu Pendidikan Indonesia”

Pendahuluan: Gemuruh Keluhan di Ruang Maya

Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial dipenuhi narasi tentang merosotnya pendidikan Indonesia. Berbagai akun, baik individu maupun komunitas, kerap melontarkan kritik tajam, namun sayangnya tanpa data memadai, tentang kurikulum, metode belajar, hingga karakter generasi muda. Di antara keluhan itu, mengemuka klaim-klaim yang terus berulang:

  • “Kurikulum Merdeka bikin siswa malas.”
  • “Diferensiasi itu sama saja wajib naik kelas.”
  • “Anak SMP tidak bisa membaca karena kurikulum sekarang.”
  • “Anak SMA tidak bisa perkalian karena sistem ranking dihapus.”
  • “Karakter siswa rusak karena pelajaran PMP dihapus—kembalikan PMP!”

Klaim-klaim ini seolah-olah logis, bahkan terdengar heroik. Namun ketika dibongkar, banyak di antaranya lebih dekat pada halusinasi pendidikan daripada analisis berbasis bukti.

Feature ini berusaha membedah fenomena tersebut: mengapa salah kaprah ini muncul, bagaimana fakta ilmiah berbicara, serta mengapa solusi yang diusulkan (misalnya mengembalikan PMP) justru tidak menjawab akar masalah pendidikan Indonesia.

 

1. Mitos “Pendekatan Diferensiasi Membuat Semua Siswa Naik Kelas”

Salah satu narasi paling viral adalah anggapan bahwa pendekatan pembelajaran berdiferensiasi (differentiated instruction) secara otomatis membuat semua siswa naik kelas.

Ini adalah miskonsepsi besar.

Diferensiasi Bukan “Kompensasi”, tapi Strategi Profesional

Pembelajaran berdiferensiasi dikembangkan oleh Carol Ann Tomlinson, seorang pakar pendidikan dari University of Virginia. Menurut Tomlinson:

“Differentiation is not about lowering standards; it is about giving multiple pathways to meet them.”(¹)

Tujuan diferensiasi adalah memungkinkan semua siswa mencapai standar minimal melalui strategi yang disesuaikan, bukan membebaskan mereka dari standar itu.

Fakta Kebijakan: Kurikulum Merdeka Tidak Mengharuskan Semua Siswa Naik Kelas

Dalam dokumen resmi Kemendikbud (Standar Penilaian Pendidikan 2022), tidak ada satu pun pasal yang menyatakan bahwa sekolah harus menaikkan kelas seluruh siswa.

Bahkan, keputusan kenaikan kelas tetap berada pada:

  • pemenuhan capaian kompetensi dasar,
  • hasil asesmen formatif dan sumatif,
  • kebijakan satuan pendidikan.

Kurikulum Merdeka hanya menekankan bahwa keputusan tidak naik kelas harus melalui pertimbangan pedagogis, bukan hukuman.

Lalu Mengapa Muncul Salah Kaprah Ini?

Banyak guru masih mengira bahwa:

  • karena diferensiasi memberi intervensi tambahan,
  • maka semua siswa otomatis harus berhasil,
  • dan jika tidak naik kelas dianggap “gagal diferensiasi”.

Padahal, diferensiasi bertujuan untuk memperluas peluang, bukan menjamin hasil.

2. Konsekuensi Pedagogis: Keputusan Naik Kelas dalam  Kerangka Diferensiasi

Dalam konteks diferensiasi, keputusan kenaikan kelas membutuhkan standar yang lebih ketat, bukan lebih longgar. Kenapa?

Pertama, karena guru kini wajib melakukan asesmen diagnostik dan formatif.

Ahli asesmen Dylan Wiliam menegaskan:

“Assessment is the bridge between teaching and learning.”(²)

Dengan asesmen yang baik, guru bisa menentukan apakah ketidakmampuan siswa berasal dari:

  • kurangnya waktu belajar,
  • miskonsepsi,
  • masalah non-akademik,
  • atau kelemahan mendasar dalam literasi-numerasi.

Sehingga, keputusan naik kelas menjadi lebih berbasis bukti.

Kedua, siswa yang tidak memenuhi kompetensi tetap dapat tidak naik kelas.

Dengan catatan:

  • sekolah memberi intervensi memadai,
  • ada bukti objektif bahwa kompetensi tidak tercapai,
  • keputusan diambil melalui rapat dewan guru.

Tomlinson menyatakan:

“Differentiated instruction does not remove accountability.”(³)

Artinya, tanggung jawab akademik tetap melekat.

Ketiga, beban profesional guru meningkat.

Diferensiasi tidak berarti memanjakan siswa. Justru:

  • guru harus menyiapkan banyak skenario pembelajaran,
  • melakukan asesmen berlapis,
  • menyediakan intervensi,
  • melakukan analisis kemajuan belajar.

Dengan demikian, keputusan naik kelas dalam era diferensiasi jauh lebih berbasis data, bukan berbasis emosi atau kebiasaan lama.

3. Mitos Bahwa Kurikulum Merdeka Menyebabkan Kemerosotan Kemampuan Dasar

Media sosial sering memviralkan kasus anak SMP yang tidak bisa membaca atau siswa SMA yang tidak menguasai perkalian dasar.
Lalu kesimpulannya: “Ini semua salah Kurikulum Merdeka.”

Padahal, kemampuan dasar bukanlah dampak kurikulum 3–4 tahun terakhir.
Kemerosotan literasi-numerasi adalah fenomena:

  • jangka panjang,
  • lintas kurikulum,
  • multisistem.

Temuan PISA: Masalah Ini Sudah Lama

Data PISA (OECD) menunjukkan:

  • Indonesia sudah berada di kuartil terbawah literasi sejak tahun 2000.
  • Pada PISA 2018, 70% siswa Indonesia gagal mencapai level literasi minimum.⁴
  • Tren stagnan terjadi sebelum Kurikulum Merdeka diluncurkan.

Artinya, menyalahkan kurikulum terbaru adalah kekeliruan logika.

Akar Masalah Kemampuan Dasar: Lebih Kompleks daripada Sekadar Kurikulum

Riset Bank Dunia, UNESCO, dan SMERU menunjukkan bahwa kemampuan dasar dipengaruhi oleh:

  1. Kualitas guru dan efektivitas pembelajaran
  2. Waktu belajar yang hilang (learning loss)
  3. Ketimpangan sosial-ekonomi
  4. Tidak adanya intervensi remedial yang sistematis
  5. Budaya sekolah yang minim literasi

UNESCO menulis:

“Curriculum reform does not automatically translate into improved learning outcomes unless accompanied by changes in pedagogy and assessment.”()

Dengan kata lain, kurikulum hanyalah satu bagian dari ekosistem belajar.

4. Narasi PMP: Antara Harapan, Nostalgia, dan Miskonsepsi

Ketika kegelisahan muncul, banyak orang menuntut agar mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) kembali diterapkan, dengan klaim:

“Karakter siswa rusak karena PMP hilang.”

Namun, klaim ini tidak didukung bukti ilmiah.

A. Pendidikan Karakter Bukan Sekadar Mata Pelajaran

Ahli pendidikan karakter, Thomas Lickona, menyatakan:

 “Character is developed through consistent modeling and school culture, not through isolated classroom lessons.”()

Artinya:

  • karakter tidak dibentuk oleh satu mata pelajaran,
  • tetapi oleh budaya sekolah: keteladanan guru, disiplin konsisten, relasi sosial yang sehat.

Bahkan jika PMP dikembalikan, ia hanya memberi kontribusi kecil.

B. Sejarah PMP: Tidak Sesuai Imajinasi Publik

Banyak orang membayangkan PMP masa lalu “sukses membentuk karakter”. Padahal:

  • ia berjalan bersamaan dengan rezim otoriter Orde Baru,
  • motivasi belajar moral dibentuk melalui indoktrinasi dan ketakutan,
  • bukan pengembangan moral intrinsik.

Pakar kurikulum, Paulo Freire, menyebut pendidikan doktriner seperti ini sebagai:

 “banking education that does not liberate, but controls.”()

Sehingga mengembalikan PMP tidak relevan dengan pendidikan karakter modern.

C. Pendidikan Karakter Modern Lebih Holistik

Model Schoolwide Positive Behavior Support (PBS, University of Oregon), Character Education Partnership (CEP), dan pendekatan kompetensi sosial-emosional (SEL) jauh lebih efektif. Riset menunjukkan:

  • SEL meningkatkan prestasi akademik hingga 11 poin persentil.()
  • Program karakter terpadu menurunkan perilaku negatif hingga 50%.()

PMP tidak memiliki basis empiris sekuat pendekatan modern tersebut.

D. Mengapa Orang Menuntut PMP?

Karena:

  • ingin solusi cepat dan sederhana,
  • merindukan ketertiban era lama,
  • tidak memahami bagaimana karakter dibangun,
  • melihat masalah karakter generasi muda secara permukaan.

Nostalgia bukan analisis.

5. Media Sosial dan Halusinasi Pendidikan: Mengapa Narasi Keliru Menyebar?

Fenomena echo chamber di media sosial membuat informasi salah mudah dipercaya.

Peneliti media Cass Sunstein menjelaskan:

“People believe information repeated often enough, regardless of accuracy.”(¹⁰)

Dalam konteks pendidikan:

  • keluhan tentang kurikulum mudah viral,
  • kritik emosional lebih menarik daripada data,
  • guru atau orang tua yang frustrasi lebih vokal,
  • algoritma memperkuat sentimen negatif.

Akhirnya muncul apa yang disebut psikolog sebagai collective delusion, keyakinan bersama yang tidak sesuai dengan kenyataan.

6. Tabel Ringkasan Bukti

Berikut tabel ringkas untuk memetakan mitos dan fakta:

Klaim

Fakta Ilmiah

Sumber Ahli/Riset

Pembelajaran diferensiasi = semua siswa wajib naik kelas

Tidak benar. Diferensiasi = berbagai jalan mencapai standar yang sama

Tomlinson¹³

Kurikulum Merdeka membuat siswa malas

Tidak ada bukti. Masalah motivasi dipengaruhi faktor psikologis dan budaya sekolah

Deci & Ryan¹¹

Kemampuan dasar menurun karena kurikulum baru

Tidak benar. Tren sudah terjadi sejak 20 tahun lalu

OECD PISA⁴

Mengembalikan PMP akan memperbaiki karakter

Tidak terbukti. Karakter dibentuk budaya sekolah dan interaksi sosial

Lickona⁶

Ranking memotivasi belajar

Penelitian menunjukkan kompetisi berlebihan menurunkan motivasi intrinsik

Deci¹²

Kurikulum adalah penyebab utama kegagalan

Salah. Kurikulum hanya satu komponen dari ekosistem

UNESCO⁵

 

7. Menuju Diskusi Pendidikan yang Lebih Waras

Indonesia tidak kekurangan kritik, tetapi sering kekurangan kritik yang berbasis bukti.
Daripada menyalahkan kurikulum, PMP, atau ranking, lebih penting untuk memperbaiki:

  1. Kompetensi guru
  2. Asesmen formatif
  3. Budaya literasi
  4. Intervensi remedial
  5. Kepemimpinan sekolah
  6. Keterlibatan orang tua

Seperti dikatakan Andreas Schleicher (OECD):

“The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers.”(¹⁴)

Itu adalah inti persoalan yang sebenarnya.

Penutup: Saatnya Move On dari Nostalgia dan Halusinasi

Perdebatan pendidikan di media sosial sering kali terjebak pada emosi, nostalgia, dan kesimpulan instan. Padahal pendidikan adalah ekosistem kompleks yang membutuhkan pendekatan ilmiah, bukan slogan-slogan populis.

Kurikulum Merdeka tidak sempurna, tetapi menyalahkannya atas semua masalah adalah penyimpangan logika.
Demikian pula harapan bahwa PMP akan memperbaiki karakter hanyalah simplifikasi berlebihan terhadap masalah moral generasi muda.

Yang kita butuhkan bukan nostalgia, melainkan literasi kebijakan pendidikan.

Indonesia membutuhkan guru yang reflektif, masyarakat yang melek data, dan diskusi publik yang tidak mudah terseret halusinasi kolektif.

Catatan Kaki

¹ Tomlinson, C. A. How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms.
² Wiliam, D. Embedded Formative Assessment.
³ Tomlinson, C. A., 2017.
⁴ OECD PISA Reports 2000–2018.
⁵ UNESCO Global Education Monitoring Report.
⁶ Lickona, T. Educating for Character.
⁷ Freire, P. Pedagogy of the Oppressed.
⁸ Durlak et al., “The Impact of Enhancing Students’ Social and Emotional Learning.”
⁹ Payton et al., The Positive Impact of Social and Emotional Learning for Kindergarten to Eighth-Grade Students.
¹⁰ Sunstein, C. #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media.
¹¹ Deci & Ryan. Self-Determination Theory.
¹² Deci, E. L., Research on extrinsic rewards and motivation.
¹³ Tomlinson, C. (2001–2022).
¹⁴ Schleicher, A. OECD Education Directorate.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peluncuran Buku Menyulam Cahaya di padasuka.

Bertepatan dengan Reuni Akbar Lintas Angkatan SMA Negri 4 Tangerang (d/h SMAN 3) dan Perayaan Ulang Tahun ke 40 SMA Negeri 4 Tangerang telah diluncurkan buku perjalanan 40 tahun SMAN 4 Tangerang berjudul Menyulam Cahaya di Padasuka .  Dari SMA Negeri 3 Tangerang ke SMA Negeri 4 Tangerang: Perjalanan 40 Tahun Membangun Generasi Unggul. Peluncuran dihadiri oleh alumni mulai dari angkatan pertama yang lulus tahun 1987 sampai angkatan 2025, guru dan pegawai yang pernah mengabdi, guru yang masih aktif dan Wakil Walikota Tangerang, H. Maryono Hasan, yang juga merupakan alumni tahun 1993. Menyulam Cahaya di Padasuka adalah karya monumental yang tidak hanya menyimpan sejarah institusi pendidikan, tetapi juga menegaskan identitas dan nilai luhur yang diwariskan lintas generasi. Buku ini menjadi saksi perjalanan dari keterbatasan menuju keunggulan, dari tanah Padasuka yang sederhana menuju sekolah berprestasi dan Sekolah Penggerak. Ia layak dibaca oleh siapa pun yang percaya bahwa pendidika...

Mengapa Mutu Pendidikan Indonesia Tak Kunjung Membaik: Menggugat Akar Permasalahan yang Terabaikan

Pendidikan Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Fakta ini bukan sekadar asumsi pesimistis, melainkan realitas yang terdokumentasi dalam berbagai indikator internasional dan nasional. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan bahwa skor Indonesia dalam kemampuan membaca mencapai 359, matematika 366, dan sains 383—seluruhnya terpaut lebih dari 100 poin dari rata-rata global. Meskipun peringkat Indonesia naik 5-6 posisi dari tahun 2018, kenaikan ini lebih disebabkan oleh penurunan drastis negara-negara lain akibat pandemi, bukan karena perbaikan substansial kualitas pembelajaran kita. Yang lebih memprihatinkan, hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai level 5-6 (tingkat kemahiran tertinggi) dalam ketiga aspek yang diujikan. Rendahnya mutu pendidikan tidak hanya tampak dari capaian akademik. Dimensi non-akademik pun menunjukkan potret yang sama kelamnya. Sepanjang tahun 2024, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 5...

Pemanfaatan AI untuk Pembuatan Bahan Ajar dan Media Pembelajaran.

  Pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk menyediakan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan peserta didik. Pendekatan ini tidak lagi menganggap siswa sebagai kelompok homogen, melainkan menghargai setiap individu dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, bahan ajar dan media pembelajaran memainkan peran krusial dalam memastikan bahwa setiap siswa dapat mengakses dan memahami materi dengan cara yang paling sesuai untuk mereka. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, bahan ajar dan media pembelajaran perlu memiliki fleksibilitas yang tinggi. Sebagai contoh, untuk siswa yang visual learner , bahan ajar dan media pembelajaran berbasis grafik atau diagram mungkin lebih efektif dibandingkan teks naratif panjang. Sedangkan untuk siswa yang auditori, penggunaan bahan ajar berupa podcast atau rekaman audio dapat meningkatkan pemahaman mereka. Di sisi lain, untuk siswa kinestetik, bahan ajar yang memungkinkan mer...